Full Boarding School (SBP) dan Sekolah Menengah Pertama Ilmu Ma’ra (MRSM) menjadi salah satu lembaga pendidikan dasar bagi orang Melayu di negeri ini.
Orang Melayu akan mempertahankan keberadaan SBP dan MSRM karena orang Cina di negara ini ingin memastikan bahwa sekolah bercorak nasional Cina selalu ada di Malaysia.
Kehadiran sekolah yang menggunakan media pengajaran dalam bahasa Cina dianggap sebagai lembaga pilar keberadaan kelompok ini di negara ini, atau dapat juga disebut sebagai “pilar keberadaan”.
Pencapaian lainnya adalah penggunaan bahasa Tionghoa itu sendiri, surat kabar berbahasa Tionghoa, kebebasan berdagang dengan adanya China Trade Council dan praktik budaya Tionghoa melalui berbagai jenis serikat etnis.
Sehingga dapat dipahami bahwa masalah sekolah Tionghoa adalah hal yang sensitif.
Bagi orang Melayu pencapaian ini tidak berarti karena orang-orang ini adalah mayoritas dan memegang kekuasaan politik dan pelayanan publik.
Bahasa Melayu juga telah menjadi bahasa resmi dan bahasa nasional.
Sekolah bahasa melayu telah menjadi sekolah nasional.
Islam juga telah menjadi agama resmi yang institusinya dibiayai oleh pemerintah.
Namun orang Melayu juga memiliki tonggak sejarah keberadaannya.
Fondasi keberhasilan ini tentu saja institusi Raja-raja Melayu, diikuti oleh agama Islam dan keistimewaan yang diterjemahkan ke dalam pendidikan dan ekonomi.
Sejak kemerdekaan, berbagai yayasan dan prakarsa dikembangkan agar orang Melayu tidak ketinggalan dalam bidang pendidikan dan ekonomi.
Ada anggapan bahwa landasan dan prakarsa ini bersifat sementara, yaitu ketika orang Melayu masih kalah bersaing dengan orang Cina.
Tapi meski sudah banyak yang berhasil, setelah 66 tahun merdeka, orang Melayu masih tertinggal.
Di sisi lain, ada pihak yang berpendapat bahwa orang Melayu harus selalu dibantu dalam pendidikan dan ekonomi karena itu adalah hak kebangsaan mereka.
Jadi sudah menjadi “hak”, terlepas dari apakah orang Melayu itu dari marhaen atau elit.
Para elit Melayu yang menguasai bidang politik dan ekonomi tentu saja secara sadar atau tidak sadar mengambil kesempatan itu untuk kepentingan dan keturunannya sendiri.
Sehingga lembaga atau instansi yang tujuan awalnya membantu orang Melayu ini menjadi lembaga penting yang selalu perlu dipertahankan.
Jadi membahas ini juga merupakan hal yang sensitif.
Apapun partainya pemerintah, harus dipaksa untuk mempertahankan institusi ini.
Di antara institusi tersebut adalah Mara, Tabung Haji dan Permodalan Nasional Berhad.
Jadi ketika pembicaraan tentang MRSM muncul baru-baru ini, dia menjadi sensitif.
Yang terjadi MRSM bukan hanya lembaga inti bagi orang Melayu tetapi seluruh sistem SBP yang dikendalikan oleh Depdiknas juga sangat dekat dengan masyarakat Melayu dan bisa dipastikan mereka peka terhadap setiap perubahan yang dilakukan terhadapnya.
Meski hanya segelintir orang Melayu yang bisa masuk SBP dan MRSM, setelah puluhan tahun berdiri, pasti banyak lulusan dari sekolah-sekolah tersebut di tanah air.
Tentu saja, sebagian besar mantan siswa menjadi orang sukses di masyarakat dan beberapa dari mereka bergabung dengan elit negara.
Mereka juga ingin anak cucunya masuk SBP dan sukses seperti mereka.
Isu ini mencuat pekan lalu ketika Asyraf Wajdi Dusuki dari Umno ditunjuk sebagai pengganti Mara.
Di antara hal pertama yang perlu disebutkan adalah proposal untuk membuat MRSM berbayar.
SBP, MRSM dan Mara sendiri merupakan hal sensitif bagi orang Melayu. Karenanya kontroversi tentang cadangan.
MRSM berbayar tentu saja untuk anak-anak elit Melayu.
Dengan adanya MRSM bergaji, ia mengatasi masalah ketika anak-anak golongan elite bersekolah bersama anak-anak golongan lain dari marhaen.
Sebab, MRSM banyak mendapat bantuan dari pemerintah melalui alokasi Mara.
Jadi haruskah anak-anak kelas elit mendapat bantuan yang sama karena sebenarnya mereka mampu?
Padahal tujuan awal, sebagaimana dipahami secara umum oleh masyarakat umum, SBP dan MRSM adalah untuk menyediakan tempat bagi siswa berprestasi namun kondisi lingkungannya seperti kemiskinan dapat mempengaruhi pembelajaran.
Jadi tempat yang diberikan kepada kelompok elit anak-anak berarti dia mengingkari tempat bagi orang biasa dan orang biasa.
Tentu pemahaman ini tidak bisa diterima oleh para elite, terutama mereka yang bergelar SBP dan MRSM.
Bagi mereka, SBP dan MRSM adalah hak semua orang Melayu terlepas dari elite atau bukan.
Selama memenuhi syarat, mereka berhak masuk SBP dan MRSM.
Beberapa tahun lalu, muncul keinginan lulusan MSRM agar anaknya diprioritaskan masuk sekolah.
MSRM ini bukan hanya sekolah yang bagus, tetapi dari sana ia mendapat kesempatan untuk melanjutkan studinya di luar negeri dengan beasiswa atau pinjaman Mara.
Hal itulah yang mendorong mereka berebut masuk ke MSRM.
Jadi, tentu ada yang mempertanyakan hak-hak mantan siswa terhadap sekolah lamanya.
Ini karena sekolah ini dibiayai oleh pemerintah dan terbuka untuk semua warga negara ini.
Anak-anak mantan siswa tidak memiliki keunggulan dibandingkan orang lain.
Sikap ini menunjukkan mentalitas hak di kalangan elite.
Seperti diketahui, banyak anak kelas elite yang bisa masuk SBP dan MRSM.
Ia menjelaskan bagaimana masyarakat Melayu kini juga terbagi menjadi kelompok elit dan non-elit.
Kelompok elit ini memiliki pengaruh politik, ekonomi dan sosial di masyarakat.
Meskipun mereka minoritas di kalangan orang Melayu, pengaruh mereka sangat besar.
Dengan pengaruhnya, kelompok elite ini bisa melakukan apa saja untuk melindungi kepentingan dan keturunannya.
Maka tidak mengherankan jika desakan mereka agar MRSM yang digaji direalisasikan juga akan sukses di masa depan.
Maka akan ada dua gelar dalam sistem MRSM ini.
MRSM berbayar ini akan menjadi sekolah premium, jauh dari sekolah MRSM biasa.
Ada yang bilang, apa salahnya MRSM berbayar ini direalisasikan karena tidak mendapat bantuan pemerintah.
Tetapi jika dia terungkap, pasti dia menggunakan jasa pejabat Mara dan staf pengajar yang dibiayai oleh alokasi kerajaan.
Pengurus Mara dan MRSM yang gajinya dibayar pemerintah harus berpikir untuk membayar MRSM juga karena masih dalam pengelolaan mereka.
MRSM adalah sistem di luar Kementerian Pendidikan.
Di sana mereka diperbolehkan belajar menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar sementara anak-anak Melayu lainnya di sekolah biasanya belajar dalam bahasa nasional.
Inilah yang diinginkan oleh elit Melayu, yaitu agar anak-anak mereka memiliki kesempatan yang lebih besar dalam hidup.
Bukankah ini kepura-puraan dalam pendidikan?
Orang Tionghoa tidak membutuhkan SBP dan MRSM untuk maju dalam pendidikan dan pekerjaan.
Mereka memberdayakan sekolah tipe nasional China untuk menjadi lebih kompetitif daripada sekolah nasional.
Mereka juga bisa menyekolahkan anaknya ke luar negeri dengan biaya sendiri.
Tanpa bantuan dan subsidi pemerintah, anak-anak Melayu tidak akan bisa belajar di universitas atau di luar negeri.
Hanya melalui SBP dan MRSM mereka dapat belajar di luar negeri.
Setelah maju dan berhasil dalam pekerjaannya, mereka dapat menjadi bagian dari kelompok elit.
Tapi sebagai elit, tentu mereka mampu membuat sekolah swasta yang sesuai dengan selera mereka.
Kelompok ini juga mampu menyekolahkan anaknya belajar di luar negeri.
Mereka terlalu bergantung pada institusi kerajaan untuk pendidikan anak-anak mereka.
Tetapi orang akan selalu mencari cara untuk menjaga kekayaan mereka dari warisan apa pun.