Hari Al-Quds tahun ini jatuh pada hari Jumat. Sebab, ini adalah Jumat terakhir di bulan Ramadan tahun ini dengan perkiraan Aidilfitri di banyak tempat jatuh pada Jumat pekan depan.
Al-Quds berarti Jerusalem atau Yerusalem dengan fokusnya pada Masjid Al-Aqsa yang wilayahnya meliputi Tanah Suci dan Kubah Batu atau “Dome of the Rock”.
Kubah ini merupakan bangunan ikonik yang menjadi simbol Al-Quds.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, Hari Al-Quds diperingati dengan demonstrasi untuk mengingatkan dunia bahwa Al-Quds masih berada di bawah pendudukan Israel dan perlu dibebaskan.
Di Iran, Lebanon, Irak, Pakistan, dan tempat lain, demonstrasi diadakan bersamaan dengan Hari Al-Quds.
Seringkali kegiatan memperingati Hari Al-Quds dikaitkan dengan Iran dan negara atau kelompok yang bersekutu dengannya.
Sebab, Hari Al-Quds merupakan gagasan dan seruan Ayatollah Khomeini, pemimpin Revolusi Islam Iran.
Dia membuat panggilan ini bukan sebagai pemimpin Iran atau Revolusi Islam, tetapi sebagai pemimpin umat Islam, terlepas dari apakah dia ditandatangani atau tidak.
Namun sikapnya terhadap pembebasan Al-Quds sejalan dengan konsensus komunitas Muslim global.
Di London, Hari Al-Quds dirayakan Minggu ini dengan demonstrasi besar-besaran di jalan-jalan utama kota.
Dia direkomendasikan oleh sebuah kelompok yang disebut Komisi Hak Asasi Manusia.
Di Malaysia tidak ada demo untuk itu tapi ada acara yang disebut Hari Cinta Al-Quds Kamis lalu.
Dalam kaitan itu, saya ingin mengenang kontribusi seorang aktivis yang aktif memperingati Hari Al-Quds di penghujung Ramadan tahun 1980-an.
Ia adalah almarhum Syed Jaafar Al-Sagoff yang menunjukkan dan membagikan selebaran Hari Al-Quds bersama anak-anaknya di Masjid Jamek dan Masjid Kampung Baru di Kuala Lumpur.
Dia pernah ditahan oleh pihak berwenang dan diasingkan secara teritorial.
Meski peringatan Hari Al-Quds telah dilaksanakan sejak tahun 1979, yakni 44 tahun silam, namun pembebasan Yerusalem masih belum bisa dilaksanakan.
Dia menegaskan kelemahan negara-negara Islam dengan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) yang awalnya didirikan sebagai reaksi atas kebakaran Masjid Al-Aqsha pada 1969 tidak bisa berbuat apa-apa.
Sebaliknya, selama 44 tahun itu, rezim Tel Aviv telah mengukuhkan posisinya di Yerusalem sebagai ibu negara Israel.
Mereka tidak hanya mendapat pengakuan dari Amerika Serikat (AS) tetapi juga menggiring mereka untuk mengubah posisi kedutaan mereka.
Ini terjadi pada masa pemerintahan Presiden Donald Trump yang memindahkan kedutaan AS dari Tel Aviv ke Yerusalem.
Selama 44 tahun itu, posisi negara Islam di garis depan dengan Israel semakin melemah.
Lebanon menghadapi krisis ekonomi dan politik yang parah dengan pengaruh Hizbullah yang menurun karena kehilangan banyak kursi di Parlemen.
Suriah juga menghadapi dampak yang menghancurkan dari perang saudara dan masih menanggung akibatnya. Irak masih jauh dari pemulihan.
Mesir juga kembali ke negaranya sebelum Musim Semi Arab. Sementara Yordania tidak bisa berbuat apa-apa sementara pengelolaan Masjid Al-Aqsa masih dalam pengelolaannya.
Juga di pihak Israel, dalam hal ekonomi dan pencapaian ilmiah dan teknologi, Israel telah membuat namanya terkenal di dunia Barat.
Namun dari segi politik semakin terseret ke dalam negara rasis berupa apartheid.
Rakyatnya memilih pemerintahan dalam bentuk Yudaisme dengan menolak Zionisme sekuler asli yang memberi ruang bagi minoritas Arab Muslim dan Kristen.
Juga menjelang Ramadhan, rezim Tel Aviv Benjamin Netanyahu diintimidasi oleh segelintir warganya yang berdemonstrasi hampir setiap hari menentang undang-undang baru yang diusulkan yang akan memungkinkan perdana menteri menunjuk hakim dan pada saat yang sama mengendalikan peradilan.
Maka tidak mengherankan jika setiap tahun rakyat Palestina di Tepi Barat semakin tertekan dengan perampasan tanah dan pohon zaitun oleh penjajah Yahudi.
Begitu pula setiap tahun di bulan Ramadhan akan terjadi pertempuran antara tentara Israel dan jamaah yang shalat di Masjid Al-Aqsha.
Pastinya di bulan puasa ini banyak jemaah yang ingin sholat di masjid tersuci ketiga dalam Islam ini.
Tidak hanya untuk sholat Jum’at, tetapi juga untuk sholat dan sholat terakhir.
Namun tahun ini, tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, bertepatan dengan hari raya Yahudi, Paskah dan hari raya umat Kristiani, Paskah.
Dalam festival ini, Muslim, Yahudi dan Kristen bentrok. Mereka melewati jalur atau jalan yang sama untuk beribadah.
Menandakan bahwa mereka adalah pihak yang berkuasa di Masjid Al-Aqsa, militer rezim Tel Aviv telah melarang umat Islam beribadah di sana untuk mengizinkan lewatnya orang Yahudi untuk melaksanakan perayaan Paskah mereka.
Tapi tentu saja Palestina tidak bisa menerima rintangan.
Tidak ada yang boleh melarang mereka beribadah di Masjid Al-Aqsa, bahkan para Zionis bersenjata sekalipun.
Jadi salat di Masjid Al-Aqsa bukan hanya ibadah, tapi juga politik.
Rakyat Palestina tidak bisa menyerah dan menyerah meski dipukuli, ditembak dan ditangkap oleh tentara rezim Tel Aviv.
Sebab, tindakan penyerahan diri apapun akan memperluas ruang bagi zionis untuk mengambil alih Masjid Al-Aqsa.
Sekarang adalah era media sosial. Apa yang mereka lakukan segera menyebar ke seluruh dunia.
Tentu saja, hati umat Islam di seluruh dunia hancur melihat orang-orang yang shalat di masjid dipukuli oleh tentara Zionis.
Sepanjang tahun 2022 dan 2023 telah dilaporkan seberapa sering terjadi bentrokan antara tentara Pakistan dan rezim Tel Aviv yang mengakibatkan kematian dan luka-luka, terlepas dari apakah ada yang sudah tua, wanita atau anak-anak.
Namun kali ini aksi rezim Tel Aviv dibalas serentak dengan serangan artileri dari Hamas di Gaza dan Hizbullah dari Lebanon Selatan dan Golan di Suriah.
Rezim Tel Aviv menyerang Gaza, Lebanon Selatan, dan Golan dengan lebih agresif. Tentu kerusakannya lebih besar dari yang diderita Israel
Namun, dia menegaskan, rezim Tel Aviv tidak bisa seenaknya menindas warga Palestina di Tepi Barat, khususnya terkait Masjid Al-Aqsa.
Yang mengejutkan kali ini adalah serangan dari Golan, Suriah. Itu umumnya dilihat sebagai serangan oleh Hizbullah daripada tentara Suriah.
Tapi dengan basis di Golan, itu menjadi pertimbangan baru dalam konflik.
Bagian dari Golan, yaitu Dataran Tinggi Golan, telah direbut dan diduduki oleh rezim Tel Aviv sejak Perang Ramadhan tahun 1973.
Upaya Suriah untuk membebaskan Yerusalem tidak hanya gagal tetapi juga kehilangan wilayah.
Tampaknya juga rezim Tel Aviv ingin menjadikan Dataran Tinggi Golan miliknya selamanya.
Hizbullah telah menjadi sekutu Suriah sejak 1980-an ketika didirikan ketika Damaskus dan Teheran menjalin hubungan kerja sama yang erat.
Kekaisaran Suriah membantu Hizbullah mendapatkan pijakan di Lebanon sementara Iran membangun kekuatannya.
Hizbullah berhasil mengusir pasukan AS dari Beirut dan pasukan Israel dari Lebanon Selatan.
Dalam Perang Saudara di Suriah, tentunya Hizbullah memihak pemerintah Bashar al-Assad untuk mengalahkan lawannya yang didukung AS dan juga Daesh.
Ada pengamat yang melihat apa yang terjadi di Yerusalem berbeda dari biasanya.
Apakah ini merupakan perkembangan positif bagi Palestina atau tidak tergantung pada sikap dan tindakan umat Islam ke depan.