Ketika saya masuk sebagai mahasiswa tahun pertama di Universitas Malaya (UM) pada tahun 1971, saya tidak tahu banyak tentang sosialisme.
Saya tahu bentuk Parti Rakyat Malaysia (PRM).
Saya tahu keberadaan Partai Buruh.
Saya pernah membaca novel karya Ahmad Boestam, pimpinan Partai Rakyat. Saya pernah membaca novel karya Ishak Haji Muhamad, pemimpin Partai Buruh.
Saya pernah membaca tentang keterlibatan PRM dan Partai Buruh dalam Pemilu 1964.
Kedua partai ini bergabung dengan Front Sosialis.
Saya tahu bentuk Partai Komunis Malaya (PKM).
Mustahil ada yang belum pernah mendengar nama Chin Peng dan Rashid Maidin.
Ayah saya, Rais Manaf, dulunya adalah seorang Polisi Khusus.
Tidak mungkin saya tidak mengenal Shamsiah Fakeh.
Syamsiah belajar dengan Rais Manaf di Pondok Lebai Maadah School di Pelalalangai.
Lebai Maadah adalah Wan Rahmah kakek saya.
Apa yang saya ketahui tentang sosialisme pada tahun 1971 adalah kesia-siaan.
Saya belum pernah membaca buku tentang teori dan filsafat sosialis.
Saya tahu Rusia dan China adalah negara sosialis.
Semua pengetahuan ini tidak mendalam. Diremehkan kurang dari coffee shop squash.
Sebelum masuk UM saya tahu keberadaan Klub Sosialis di universitas.
Saya tahu setelah membaca Mahasiswa Negeri, surat kabar resmi Persatuan Mahasiswa Universitas Malaya (PMUM).
Tapi ini lama mendengarkan.
Jadi jika saya melihat poster forum yang diusulkan oleh Klub Sosialis, “Pengalaman Tahanan ISA: Karim Singh dan Tajuddin Kahar di Kuliah F, saya berniat untuk hadir.
Nama Karam pernah saya baca dari Utusan Malaysia saat di Sekolah Menengah Undang Jelebu (SMUJ) tahun 1968.
Karam adalah seorang pengacara yang mengelola pekerja estetika di Asahan Melaka.
Dari yang saya baca, ahli kecantikan dari Malaka jalan-jalan ke Kuala Lumpur.
Entah apa perjuangan mereka.
Di koran yang saya lihat hanyalah wajah Karam.
Nama Karam dilekatkan karena “karam” dalam bahasa Melayu berarti tenggelam.
Saya tidak tahu siapa Tajuddin.
Saya pernah mendengar tentang tahanan politik.
Tapi saya tidak tahu apa itu Internal Security Act (ISA).
Keinginan saya tiba-tiba. Saya ingin tahu.
Saya ingin menjelajahi pikiran dengan hal-hal yang menantang pikiran.
Tantangan inilah yang saya cari di universitas.
Saya meninggalkan kasus basi dan “dangkal”.
Saya mencari sesuatu yang baru dan segar yang bisa saya lakukan.
Saya ingat poster di kertas A4 ditulis dengan warna merah.
Poster yang saya lihat tertempel di pohon di pinggir jalan dari Dataran Sastera menuju Majlis Tunku Rektor (DTC).
Ketika saya membaca poster Klub Sosialis, minggu orientasi telah berakhir.
Tapi saya masih merasa diri saya sebagai budak baru. Masih belajar. Masih menonton.
Masih mendengarkan apa yang dikatakan senior bahkan setelah orientasi selesai.
Forum Klub Sosialis di Ruang Kuliah F, Dataran Satera pada Rabu malam.
Malam itu sambil duduk santai di kamar bacaan di bawah Makan Malam Perguruan Tinggi Kelima, saya bertemu Shah, mahasiswa tahun kedua Fakultas Sastra. Syah ini adalah “mahuasitua”.
Mahasitu adalah sebutan untuk mahasiswa yang masuk perguruan tinggi bukan dari kelas enam.
Mereka sudah tua karena dulu bekerja. Sebagian besar mahasiswa adalah mantan guru yang melanjutkan studi di universitas.
“Freshi, apakah kamu sudah selesai? Kertas apa yang kamu ambil?” tanya Shah.
“Melayu, sejarah satu makalah dalam bahasa Inggris, Cina.” Aku menjawab.
“Apakah Anda berpartisipasi dalam Upacara Kuliah F? Terbesar di kampus.” tanya Syah.
“Bye, aku ingin pergi ke sana malam ini juga.” Aku menjawab,
“Ada kelas malam.”
“Kamu ingin pergi ke forum.” Aku jelaskan.
“Forum apa?” Shah menatap wajahku.
“Forum Klub Sosialis.”
“Hei, hei, kamu gila, aula akan penuh dengan SB. Apa yang kamu cari?” potong Shah.
Saya terdiam lalu berkata: “Maukah Anda mendengar tentang pengalaman tapol.”
“Jangan pergi, bahaya SB terlalu ramai.” Shah terus membuatku takut.
Baru kali ini saya mendengar SB masuk forum di kampus.
Saya tidak takut dengan SB. Tapi aku tidak ingin terlihat keras kepala di mata senior.
Malam itu saya tidak pergi ke forum. Niat saya gagal.
Program pertama Klub Sosialis pada tahun 1971 tidak saya hadiri.
Kuliahku dimulai. Sekarang saya adalah mahasiswa Fakultas Seni dan anggota Sekolah Tinggi Kelima.
Kuliah jam 8 pagi sudah cukup untuk dilihat. Kuliah ini membutuhkan pembolosan. Demikian juga kuliah pada pukul 14.00. Habis makan ngantuk tidur.
Kelas tutorial dapat memilih waktu dan durasi yang sesuai.
Menghadiri kuliah adalah tanggung jawab. Kuliah itu wajib tapi namanya tidak dicatat seperti tutorial.
Di tahun pertama kuliah sejarah paling populer. Lebih dari 500 mahasiswa kemudian kuliah di DTC.
Ketua Jurusan Sejarah Khoo Kay Kim (1937-2019).
Guru sejarah Eropa Krishen Jit (1939-2005).
Guru sejarah Malaysia Bonnie. Jurusan Sejarah memiliki dosen yang diundang dari Jakarta untuk mata kuliah Sejarah Indonesia.
Kuliah H101, H102 dan H103, juga sangat populer. Banyak yang terdaftar. H ini adalah tanda mata pelajaran Tilawah Bahasa Melayu.
Saya merasa lemah belajar bahasa Melayu.
Seolah-olah saya mengulangi apa yang saya alami di kelas enam. Jangan menantang pikiranku. Jangan buka pikiranmu.
Prof Taib Osman (1934-2017) dengan pola dan corak yang membosankan.
Sehingga profesor ini dikenal sebagai “Profesor Corak” oleh mahasiswa UM pada tahun 70-an.
Saya telah mendaftar untuk kursus Studi Cina untuk mempelajari sejarah dan budaya Cina. Ini bukan sejarah Tionghoa Malaysia. Ini adalah sejarah Cina di Daratan.
Pada tahun 1971 saya kagum dengan Cina Daratan, yang mempraktekkan sistem ekonomi sosialis.
Ini juga mengapa saya mengikuti sejarah Tiongkok.
Saya juga memiliki niat untuk belajar bahasa Mandarin.
Yang terkecil adalah perguruan tinggi C150 yaitu Sastra Inggris. Kurang dari 10 siswa.
Jadi ceramah diadakan di sebuah ruangan kecil. Kuliah Fadzilah Amin.
Kuliah dan tutorial satu kali. Dua jam seminggu saya membuka pikiran saya untuk Sastra Inggris.
Saya paling tertarik dengan perguruan tinggi C150. Saya pertama kali berkenalan dengan dramawan Rusia Anton Chekov (1860-1909).
Saya membaca drama Henrik Ibsen (1828-1906) dari Norwegia.
Saya mulai membaca cerita pendek karya Leo Tolstoy (1828 -1910) dari Rusia.
Fadzillah memperkenalkan saya dengan penulis cerpen Perancis Guy De Maupassant (1959-1893).
Saya juga mempelajari teater absurd, “Enam Karakter Mencari Penulis”, oleh Luigi Pirandello (1867-1934).
Saya tidak pernah menghadiri kuliah C150. Nyatanya, saya terus mendapat nilai A untuk esai dan lulus ujian dengan gemilang.
Saya kira kuliah C150 ini akan selalu menjadi kenangan. Ini karena seni sastra Eropa dan falsafah budi pekerti yang saya pelajari dalam mata kuliah C150 ini terus menjadi guru dan pembimbing dalam perkembangan hidup saya.
Tidak mungkin saya melupakan karakter Willy Loman dalam lakon Arthur Miller “Death of a Salesman” (1915 – 2005).
Saya mengikuti kuliah tetapi pada saat yang sama saya terus mencari siapa pemimpin Klub Sosialis itu.
Suatu malam saya berjalan ke Unity House. Union House berada di bawah bukit tidak jauh dari Rektor dan di seberang Fakultas Pertanian.
Jalur kereta menuju Union House cukup menarik.
Di kedua sisi jalan ada pohon-pohon palem. Sedangkan pemotongan jalan dari Union House ke DTC akan menanjak melalui semak belukar pohon bambu.
Union House terletak tidak jauh dari danau universitas. Di dalam gedung Union House terdapat dua kafetaria. Satu mengarah ke danau.
saya berani. Naik tangga dan masuk ke kantor. Itu semua sangat asing bagiku.
Saya melihat seorang pria dan seorang wanita duduk di belakang meja. Seseorang menghadapi mesin tik. Dari usia dan pakaian mereka saya yakin mereka bukan pelajar.
Saya seperti rusa memasuki desa.
“Woit, pemula, apa yang kamu inginkan?”
Sebuah suara Tionghoa muda datang dari belakangku. Dari pengamatan saya, saya pikir dia pasti seorang pelajar.
“Mencari Klub Sosialis.” Aku menjawab.
“Bukan di sini, ini UMSU.” Jawaban yang saya terima.
“Tidak ada operasi?” Pertanyaan dari saya.
“Tunggu disini, pergi ke ruang baca bawah, cari Lee Chee Keong.” Saya mendapat bantuan.
Aku terkejut ketika mendengar nama ini. Nama Lee Chee Keong sama dengan sahabatku Lee Keong di Jelebu.
Aku menuruni tangga dan memasuki ruang baca.
Tidak banyak siswa di ruangan ini. Ada dua mahasiswa Cina dan satu Melayu.
“Chee Keong.” Saya memanggil.
Tiga kepala menoleh.
“Ya? Apa?” Jawaban kasarnya.
“Apakah kamu Chee Keong?” Aku bertanya.
“Bukan aku, dia.” Jarinya mengarahkan pandanganku ke arah siswa yang duduk.
Saya bertemu dengan Lee Chee Keong yang sedang duduk dan terus mengulurkan tangannya
“Isham dari Fitfth College, apakah kamu dari Socialist Club?” tanyaku sambil berjabat tangan.
“Ya kenapa?” jawab Lee Chee Keong.
“Saya ingin menjadi anggota klub.” Jawaban singkat dari saya.
Lee Chee Keong berdiri dan menatap lurus ke wajahku.