bosswin168 slot gacor 2023
situs slot online
slot online
situs judi online
boswin168 slot online
agen slot bosswin168
bosswin168
slot bosswin168
mabar69
mabar69 slot online
mabar69 slot online
bosswin168
ronin86
ronin86
ronin86
ronin86
ronin86
ronin86
ronin86
ronin86
cocol77
ronin86
cocol77
cocol77
https://wowcamera.info/
mabar69
mahjong69
mahjong69
mahjong69
mabar69
master38
master38
master38
cocol88
bosswin168
mabar69
MASTER38 MASTER38 MASTER38 MASTER38 BOSSWIN168 BOSSWIN168 BOSSWIN168 BOSSWIN168 BOSSWIN168 COCOL88 COCOL88 COCOL88 COCOL88 MABAR69 MABAR69 MABAR69 MABAR69 MABAR69 MABAR69 MABAR69 MAHJONG69 MAHJONG69 MAHJONG69 MAHJONG69 RONIN86 RONIN86 RONIN86 RONIN86 RONIN86 RONIN86 RONIN86 RONIN86 ZONA69 ZONA69 ZONA69 NOBAR69 ROYAL38 ROYAL38 ROYAL38 ROYAL38 ROYAL38 ROYAL38 ROYAL38 ROYAL38
SLOT GACOR HARI INI SLOT GACOR HARI INI

Mampukah Pesta Buku membawa keuntungan?

Mampukah Pesta Buku membawa keuntungan?

Pameran Buku Internasional Kuala Lumpur (PBAKL) ke-40 telah dimulai dan akan berlangsung hingga 4 Juni.

Seperti tahun-tahun sebelumnya, acara ini diadakan di Kuala Lumpur Trade Centre (WTCKL).

Setelah meraih keuntungan tak terduga bagi banyak penerbit peserta PBAKL 2022, para pelaku industri perbukuan berharap kesuksesan tersebut bisa terulang di tahun ini.

Bahkan ada yang berharap PBAKL tahun ini menunjukkan kebangkitan industri di Malaysia.

Namun ada pengamat yang meragukan harapan tersebut. Pasalnya, tahun ini berbeda dengan tahun 2022.

Tahun ini situasi ekonomi semakin tidak aman dan menyebabkan konsumen berhati-hati dalam berbelanja.

Respons masyarakat yang luar biasa terhadap PBAKL tahun lalu karena masyarakat baru dua tahun lepas dari bayang-bayang gerakan Covid-19.

Memang seharusnya penerbit buku tidak bergantung pada PBAKL yang hanya diadakan setahun sekali.

Penjualan harus dilakukan sepanjang tahun melalui berbagai saluran, mulai dari toko buku, pameran hingga fasilitas online.

Ternyata di masa pandemi Covid-19, penjualan online lah yang membuat penerbit tetap bertahan.

Namun pada dasarnya perdagangan buku di negeri ini bukanlah sesuatu yang bisa mendatangkan keuntungan besar untuk semua kategori.

Hanya kategori agama, fiksi, dan pendidikan yang boleh mendapat untung besar. Itu hanya sejumlah kecil.

Bagaimana seorang penerbit memperhitungkan berbagai faktor agar usahanya bisa sukses. Model bisnis penerbitan buku yang ada tidak menarik investor.

Tetapi mengapa begitu banyak pengusaha terus terjun ke penerbitan buku ketika mereka dapat melihat berapa banyak perusahaan besar yang gulung tikar?

Saya juga terlibat dalam bisnis penerbitan buku pada 1990-an, ketika materi cetak masih mendominasi ruang informasi, sains, dan hiburan.

Saat itu internet belum tersebar luas, belum ada yang memikirkan media sosial.

Bahkan saat itu, perdagangan buku di negeri ini sulit meraup untung besar.

Orang-orang mengeluh karena orang Malaysia tidak tertarik membaca, tidak seperti di negara-negara Barat.

Selain itu, populasi negara itu kecil dan terfragmentasi oleh bahasa.

Mereka di bidang penerbitan baik seseorang yang tertarik dengan dunia buku atau kebetulan menemukan diri mereka dalam perdagangan ini, dan tidak ada peluang kerja lain.

Bukannya tidak ada yang bisa mendapat untung besar dari industri buku.

Mereka yang mendapat tender dan kontrak untuk menerbitkan dan memasok buku teks tentu senang.

Demikian pula, mereka yang menerbitkan buku-buku agama populer dapat memperoleh manfaat.

Novel populer untuk dewasa muda mungkin juga diminati.

Namun jika perdagangan tidak dikelola dengan disiplin yang baik, perusahaan akhirnya akan gulung tikar.

Dalam kaitan ini, tantangan penerbit juga datang dari praktik dunia usaha di tanah air yang tidak seefisien dan sebersih yang diharapkan.

Penerbit tidak dapat bertindak secara independen. Dibutuhkan penulis, pengarang, percetakan, pemasar buku, penjual buku dan toko buku.

Di sinilah kelemahan sistem di negeri ini terlihat.

Ketika penerbit mampu membayar biaya cetak lunas, seringkali royalti penulis tidak dibayarkan secara jujur.

Perjanjian tidak diikuti. Jika penulis tidak dibayar, mereka serius menulis.

Wajar jika penulis membutuhkan badan yang bisa membela mereka saat berhadapan dengan penerbit.

Perhimpunan sastrawan memang aktif membela anggotanya dan tidak hanya dengan mengadakan acara seperti pembacaan puisi atau publikasi bersama.

Hubungan antar penjual buku termasuk toko buku juga tidak terlalu akurat di negeri ini.

Tidak peduli negara tersebut tidak memiliki banyak toko buku yang dapat memudahkan pembaca untuk mendapatkan buku baru, penerbit juga tidak dapat mengharapkannya.

Saya melihat betapa sulitnya mendapatkan bayaran dari penjual dan toko untuk buku yang terjual.

Dengan pembayaran tertunda dan tidak diterima, sulit bagi emiten untuk menjaga perputaran modal.

Di antara alasan mengapa toko buku tidak dapat didirikan di negara ini adalah tingginya harga sewa ruang toko yang tidak mampu dibeli oleh penjual buku kecil.

Dahulu kala, misalnya di Penang, kontrol sewa bangunan tua memungkinkan pemilik toko kecil menjual barang termasuk buku.

Namun saat ini konsumen lebih memilih mega toko buku yang berlokasi di kompleks perbelanjaan besar seperti di Kuala Lumpur.

Daya tarik toko buku mega ini tidak hanya menjual buku, tetapi juga menyediakan kafe dan tempat bersantai bagi pembacanya.

Ini menawarkan gaya hidup yang menarik. Tentu mereka lebih banyak menjual buku impor yang harganya mahal dan dirasa di luar jangkauan sebagian besar konsumen di negeri ini.

Untuk industri buku, mereka kemudian mencari cara baru agar penerbit tidak hanya mengandalkan penjualan buku.

Mereka merekomendasikan agar penerbit menjual hak cipta kepada penerbit internasional.

Maka dengan bantuan pemerintah, penerbit ini pergi ke Pameran Buku Internasional Frankfurt di Jerman, pusat perdagangan hak cipta dunia.

Karena buku negara tidak berkualitas tinggi, hasilnya bisa ditebak.

Ketika internet dan teknologi informasi hadir pada tahun 2000-an dan 2010-an, para pelaku industri buku melihatnya sebagai peluang bagi penerbit buku untuk memasarkan buku mereka secara online, tanpa perlu penjual buku dan toko buku.

Tapi dia tidak diterima karena tidak banyak pembaca dan pembeli buku di negeri ini.

Ketika buku elektronik atau e-book pertama kali diperkenalkan, ada penerbit yang melihatnya sebagai cara menghemat biaya dengan tidak harus mencetak buku di atas kertas.

Dengan hanya menjual e-book, mereka bisa mendapat untung.

Meski generasi sekarang lebih nyaman dengan budget, di internet ada ribuan e-book yang bisa diunduh secara gratis sehingga kurang bernilai.

Terakhir, penerbit menjual buku fisik yang dibundel dengan e-book.

Bagi pecinta buku, e-book bukanlah buku sungguhan.

Sehingga kini buku fisik dan e-book memiliki peran masing-masing di masyarakat.

Terakhir, buku fisik tetap mampu mendatangkan keuntungan bagi penerbit dan memuaskan pembaca.

Dalam PBAKL kali ini, para pelaku industri membahas konsep “konten”.

Artinya yang adil untuk dijual bukanlah buku fisik, e-book atau hak ciptanya, melainkan isinya.

Itu diiris dan dapat dijual di berbagai platform media sosial untuk pengiriman.

Dari situ diharapkan penerbit bisa mendapatkan keuntungan. Memang, generasi sekarang tidak seperti dulu.

Mereka menghabiskan banyak waktu dengan “konten” anggaran mereka, lebih dari sekadar membaca buku.

Namun ada beberapa generasi baru yang masih tertarik dan membeli buku.

Buku fisik masih menarik dan penerbit juga bisa mendapatkan keuntungan darinya.

Para pembeli buku inilah yang masih berduyun-duyun ke PBAKL.

Untuk mereka; Buku masih menjadi sesuatu yang membawa kegembiraan dalam hidup.

Ini adalah forum yang ramah pengguna untuk memberikan pengetahuan, menginspirasi, dan menghibur pembaca.

Itu juga merupakan harta rakyat dan negara. Selain itu, dapat menunjang kehidupan penulis, penulis, penerbit, percetakan dan penjual buku.