bosswin168 slot gacor 2023
situs slot online
slot online
situs judi online
boswin168 slot online
agen slot bosswin168
bosswin168
slot bosswin168
mabar69
mabar69 slot online
mabar69 slot online
bosswin168
ronin86
ronin86
ronin86
ronin86
ronin86
ronin86
ronin86
ronin86
cocol77
ronin86
cocol77
cocol77
https://wowcamera.info/
mabar69
mahjong69
mahjong69
mahjong69
mabar69
master38
maxwin138

Buku akan terus hidup walaupun AI menguasai dunia

Buku akan terus hidup walaupun AI menguasai dunia

Jika saya bertanya kepada ChatGPT apakah buku dengan kecerdasan buatan (AI) akan hilang, maka jawabannya adalah tidak.

Buku akan terus hidup karena masih ada orang yang suka membaca tulisan yang dicetak di atas kertas, dan dijilid dengan kulit.

Menurutnya, ada manusia yang mengapresiasi pengalaman taktil di atas kertas.

Sejak bulan lalu dunia dikejutkan oleh upaya bentuk baru teknologi berbasis AI yang disebut ChatGPT.

Alat ini mampu menjawab setiap pertanyaan yang diajukan dengan menggunakan bahasa mirip manusia.

Tak hanya itu, ia juga bisa menulis, baik dalam bentuk esai seperti risalah rapat, laporan, bahkan puisi dan cerpen.

Meskipun saat ini tulisannya tidak sebagus penulis atau penulis, lambat laun dalam beberapa tahun kualitas tulisannya akan meningkat.

Mungkin tidak akan menggantikan penulisnya, tetapi pembaca memiliki pilihan untuk membaca tulisan manusia atau karya AI.

Buku mungkin tidak hilang, tetapi akan ada perusahaan yang ingin menerbitkan karya AI dalam bentuk buku.

Pembahasan bahwa buku tersebut akan hilang kembali mengemuka dengan munculnya ChatGPT ini.

Maka tidak hanya karya penulis yang akan hilang tetapi juga buku itu sendiri.

Argumennya adalah jika AI dapat memberikan informasi yang lebih efektif maka buku akan menjadi tidak relevan.

Melalui percakapan dengan AI, seseorang dapat memperoleh informasi, pengetahuan, dan ide dengan kualitas yang lebih tinggi daripada buku.

Artinya perolehan informasi tidak lagi perlu dibaca melalui buku tetapi melalui interaksi dengan alat AI.

Namun, prediksi tentang kepunahan buku bukanlah hal baru.

Ketika internet mulai digunakan secara luas pada tahun 1990-an, di mana informasi dapat diperoleh secara online, maka ada prediksi akan punahnya buku.

Mengapa orang membaca buku ketika informasi tersedia di ujung jari mereka.

Dalam proyek Sekolah Bestari tahun 1997, dimana saya terlibat dalam hal penyusunan konten, pemikiran guru dan siswa diajak untuk berubah dengan mengambil sikap bahwa ilmu dapat diperoleh melalui pemanfaatan internet daripada membaca buku. .

Perubahan pikiran ini tidak mudah, apalagi bagi generasi tua yang mengombinasikan ilmu dengan buku.

Meskipun demikian, buku tetap digunakan meskipun konten di internet berupa informasi dan pengetahuan semakin meningkat.

Sehingga diperkirakan format buku yang terbukti mudah digunakan oleh masyarakat umum akan tetap menjadi yang paling ramah pembaca dibandingkan dengan halaman lainnya.

Kemudian muncullah e-book atau buku elektronik yang ditempatkan di internet atau melalui e-reader atau gadget untuk membaca e-book.

Ini memiliki format buku tetapi didistribusikan melalui unduhan.

Pelopor di bidang ini adalah Amazon dengan perangkat Kindle-nya.

E-book lebih cepat didapat dan lebih murah karena tidak perlu dicetak di atas kertas.

Yang juga penting adalah e-book tidak memakan tempat.

Apalagi, ruang semakin berharga dalam kehidupan perkotaan.

Sehingga prediksi buku tersebut akan hilang semakin kuat.

Jadi penerbit di Barat memproduksi buku di dua platform, buku kertas dan e-book.

Prediksinya, beberapa tahun lagi penjualan buku akan menurun karena sedikit demi sedikit pembaca akan bermigrasi ke e-book.

Meski di awal tahun 2000-an saya masih lebih suka buku cetak, saya menerima kenyataan bahwa zaman sudah berubah.

Jadi saya beralih ke e-reader bernama Sony yang saya beli di toko buku Waterstones di London.

Saat itu, e-reader belum sampai di Malaysia.

Awalnya di Barat, penjualan e-book meningkat drastis karena penjualan buku cetak menurun.

Sehingga seolah-olah prediksi buku tersebut akan hilang ternyata benar adanya.

Bahkan surat kabar dan majalah lebih populer daripada internet.

Banyak surat kabar di seluruh dunia terkesan.

Namun beberapa tahun kemudian, penjualan buku cetak di Barat kembali meningkat dibandingkan e-book.

Saya sendiri hanya bisa bertahan menggunakan e-reader selama setahun dan kemudian kembali membaca buku sungguhan.

Jadi baik e-book maupun buku cetak bisa saling berdampingan atau berdampingan.

Maka para pelaku industri memunculkan konsep “pengalaman sentuh” ​​untuk menjelaskan mengapa sebagian pembaca tetap menginginkan buku cetak.

Ada juga yang menyebut “bau kertas” atau “bau buku” sebagai alasan mereka untuk terus membeli buku kertas.

Jika ini terjadi, buku itu tidak akan hilang.

Tergantung pada generasi mendatang apakah mereka berbagi hubungan emosional dengan buku cetak atau tidak.

Untuk saat ini, tampaknya generasi usia 20-an yang tumbuh dengan internet masih lebih menyukai buku cetak meskipun mereka tidak keberatan menggunakan e-book.

Memang benar anak muda menghabiskan banyak waktu di media sosial, namun sebagian dari mereka masih memiliki ruang untuk buku.

Sepanjang pandemi, yakni dari tahun 2020-2022, penjualan buku online mengalami peningkatan.

Sementara banyak orang yang terbiasa membaca buku dalam bentuk PDF dan e-book melalui anggaran mereka, hanya sedikit dari generasi baru yang tertarik dengan buku cetak.

Bulan lalu, mega toko buku lainnya dibuka di Kuala Lumpur, yaitu Eslite in Fahrenheit, Bukit Bintang.

Ini adalah bagian dari serangkaian toko buku Taiwan.

Eslite tidak hanya menjual buku dalam bahasa Mandarin tetapi juga dalam bahasa Inggris dan Melayu.

Ia menambahkan dua lagi mega toko buku di Klang Valley, yakni Kinokuniya di Suria KLCC dan Tsutaya di Pavilion Bukit Jalil, keduanya dari Jepang.

Bahkan Tsutaya baru muncul tahun lalu.

Jika tidak ada potensi di bisnis toko buku, tentunya investor tidak akan masuk.

Model bisnis toko buku mega ini harus mencakup penjualan barang-barang non-buku, fasilitas kafe, dan harus berada di dalam kompleks perbelanjaan.

Sementara toko buku utama yang ada di Klang Valley yaitu MPH, Popular dan Borders masih tetap beroperasi.

Ketika epidemi melanda, seperti banyak tempat komersial lainnya, toko buku juga merasakannya.

Jaringan toko buku Times dari Singapura menangguhkan semua operasi toko buku mereka di Malaysia dan MPH menutup beberapa cabangnya.

Hal yang sama berlaku untuk Popular dan Borders.

Namun mulai tahun lalu, toko buku ini kembali lagi.

Begitu pula dengan toko buku bekas dan toko buku tambahan yaitu BookExcess yang terus membuka cabang baru selain dapat menjual gudangnya dengan merek Big Bad Wolf.

Selain itu, toko buku kecil baru yang tidak hanya menjual buku-buku terbaru tetapi juga buku bekas juga telah didirikan tidak hanya di Kuala Lumpur tetapi juga di Ipoh dan Batu Gajah di Perak.

Sementara itu, Georgetown yang terkenal sebagai pusat toko buku bekas masih mempertahankan posisinya.

Dengan munculnya AI, pasti akan terjadi perubahan besar dalam cara penulisan buku, baik fiksi maupun nonfiksi.

Stimulasi dari AI juga membuat pembaca lebih canggih.

Mereka menginginkan konten yang lebih spesial daripada karya tradisional.

Meskipun mereka mungkin membaca buku daripada gadget, beberapa dari mereka masih menginginkan “pengalaman taktil” dari buku cetak.

Toh, buku dengan desain sampul yang cantik dan jilidan berkualitas memiliki estetika tersendiri untuk diletakkan di rak.

Selain buku sebagai barang koleksi, buku juga bisa menjadi bagian dari dekorasi interior rumah.

Seperti kata ChatGPT bahwa buku tidak akan musnah, ini juga berarti AI dan robot tidak akan bisa membunuh buku.